Foto ilustrasi
Sleman (HR) – Kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL) oleh pemerintah pada tahun 2025 menuai gelombang protes dari kalangan sopir truk dan dinilai kebijakan yang tidak masuk akal (kebijakan brutal).
Kebijakan yang baru-baru ini muncul tentang ODOL yang dikeluarkan oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku menteri Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenkoinfra) ini dianggap sangat meresahkan bagi para buruh (sopir truk).
Ini satu lagi bentuk kebijakan brutal yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh/pekerja yang bakal berdampak pada perekonomian.
“Kami dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia menyikapi kebijakan tersebut, ini kami nilai kurang baik untuk kedepannya,” ujar Ketua SBSI DIY Dani Eko Wiyono.
Menurut pandangan SBSI, sopir truk adalah bagian dari pekerja yang juga harus diberlakukan sama sebagai pekerja/buruh agar Indonesia memiliki trade record lebih baik kedepannya. Adapun kebijakan yang mengatakan bahwasanya tidak boleh melebihi batas muatan dari truk tersebut dengan ancaman hukuman penjara atau denda jika melebihi muatan, itu menurut SBSI sangat tidak masuk akal.
“Kenapa demikian? Pasalnya banyak permasalahan yang terjadi tidak hanya melibatkan sopir truk yang membawa muatan melebihi batas, satu sisi perusahaan tidak mau merugi jika muatanya tidak dimaksimalkan,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa proyek-proyek pemerintah pun masih menggunakan kendaraan yang tidak sesuai aturan dan melebihi kapasitas muatan.
Seharusnya pemerintah lebih bijak, cukup dilakukan pemanggilan kepada pemilik atau owner dari truk atau muatan tersebut. Dilihat dari sudut pandang kondisi jalan, Dani menilai kerusakan jalan kalau dikatakan karena banyaknya truk yang muatannya melebihi kapasitas, potensi kerusakan jalan itu bukan hanya karena truk-truk yang muatannya melebihi kapasitas tapi bisa jadi karena adanya potensi spesifikasi jalan itu tidak sesuai saat pekerjaan jalan tersebut.
“Selain itu para penyedia jasa kontruksi atau kontraktor ini juga banyak yang mengeluh karena banyaknya fee yang diminta dari para oknum pejabat terkait jika menang lelang,” ungkapnya.
Hal tersebut tentunya berdampak pada proses pekerjaan jalan yang hasilnya kurang maksimal atau tidak sesuai dengan spesifikasi nya. Kemudian dari sisi pengawasan, Dinas perhubungan (Dishub) dalam melakukan giat penimbangan muatan kendaraan(truk) ada potensi dugaan pungli disitu.
“Jadi yang harus ditegaskan disini adalah dari sisi petugas saat penimbangan harus ada pengawasan ketat agar tidak terjadi hal tersebut (over load) dan potensi pungli,” tandasnya.
“Saya selaku ketua SBSI DIY sangat menyesalkan kebijakan tersebut karena itu sangat berdampak pada tingkatan perekonomian. Sopir-sopir truk itu bekerja untuk menafkahi keluarganya, ketika sopir ini menolak untuk diberi muatan lebih dari perusahaan, perusahaan bisa jadi akan pecat mereka atau truk tersebut tidak boleh digunakan dan akhirnya mereka ini tidak ada pendapatan. Dikhawatirkan hal tersebut akan berdampak pada bertambahnya pengangguran,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Salah satu poin krusial adalah soal revisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya Pasal 277, yang dinilai menjerat sopir truk dengan ancaman pidana hingga 1 tahun atau denda 24 juta rupiah.(AR).