Foto: Sego Berkat Bu Tiwi Tan Tlogo
Oleh: Muhammad Arifin
(Penulis dan pemerhati budaya lokal)
Kamis, (24/07/2025)
Harian Rakjat, Gunungkidul – Dalam dunia yang terus bergerak cepat, di mana segala hal dituntut instan dan praktis, tak banyak yang mampu bertahan dengan keaslian. Apalagi dalam hal kuliner. Banyak warung makan dan restoran berguguran, tergantikan oleh model bisnis kekinian yang lebih menonjolkan tampilan ketimbang rasa dan makna. Namun, di sudut Gunungkidul yang sejuk, sebuah rumah makan sederhana berdiri tegak mempertahankan tradisi: Rumah Makan Sego Berkat Bu Tiwi Tan Tlogo.
Didirikan sejak 15 Agustus 2012, rumah makan ini bukan sekadar tempat mengisi perut. Ia adalah saksi sekaligus pelopor bagaimana sego berkat—sajian khas Jawa yang sarat filosofi berbagi dan syukur—tetap hidup dan dicintai lintas generasi. Di tengah perubahan selera masyarakat yang serba cepat dan viral, Bu Tiwi hadir dengan pilihan yang teguh: tidak ikut-ikutan tren, tapi menciptakan ruang pulang bagi rasa yang mulai terlupakan.
Sebagai seorang pelaku usaha kuliner, Sunyoto—pemilik rumah makan sekaligus Ketua PHRI Gunungkidul—bukan hanya menjual makanan, tetapi juga menjual pengalaman dan nilai. Bahwa makan bukan sekadar kenyang, tapi juga menyambung akar budaya. Harga sego berkat yang sangat terjangkau mulai dari Rp 7.000 hingga Rp 18.000 adalah bentuk nyata bahwa kuliner tradisional bisa tetap inklusif, merakyat, dan bermartabat.
Yang menarik, pengunjung bisa memilih sendiri lauknya. Sederhana, tapi memberi rasa “rumahan” yang jarang kita temukan di restoran besar. Inilah bentuk penghargaan terhadap selera dan keterlibatan batin dalam proses makan. Tak mengherankan jika rumah makan ini pernah disinggahi tokoh-tokoh nasional seperti Presiden ke-6 RI SBY, AHY, hingga wisatawan mancanegara. Sebuah penghormatan yang datang bukan karena strategi pemasaran digital, tapi karena kualitas rasa dan konsistensi.
Kita perlu belajar dari Rumah Makan Sego Berkat Bu Tiwi Tan Tlogo, bahwa mempertahankan tradisi bukan berarti menolak modernisasi. Justru di tengah derasnya perubahan, mereka yang mampu menjaga identitaslah yang bertahan lebih lama. Kuliner tradisional bukan sekadar jualan nostalgia, tetapi juga ruang perlawanan terhadap globalisasi rasa yang seragam.
Di zaman ketika makanan cepat saji mendominasi pasar, sego berkat adalah pengingat bahwa makanan juga bisa menjadi sarana membangun jati diri. Dan di Gunungkidul, warisan itu masih dijaga dengan penuh cinta.