Minggu, 5 Okt 2025
NasionalPojok Opini

Opini: Republik Bajak Laut dan Ketakutan Wakil Rakyat

Oplus_131072

Foto: Ilustrasi (AR) , Jumat 01 Agustus 2025.

Oleh: Muhammad Arifin 

Harian Rakjat, Yogyakarta – Hanya karena selembar bendera hitam bergambar tengkorak, simbol bajak laut dalam serial One Piece, sebagian anggota DPR-RI langsung kebakaran jenggot. Alasannya? Momen pengibaran bendera tersebut bertepatan dengan menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Maka bendera fiksi pun dituduh sebagai “tidak pantas” dan dianggap menodai semangat kebangsaan.

Yang lebih mengejutkan, salah satu anggota DPR-RI dari Komisi IV bahkan menyebut bahwa “itu mungkin malah bagian dari makar” dan menyerukan agar ditindak tegas, minimal diinterogasi siapa yang menyuruhnya.

Dagelan apa lagi ini? Seolah-olah negeri ini bisa digulingkan hanya karena sehelai bendera kartun yang diangkat anak-anak muda. Bukankah itu cerminan betapa rapuhnya mentalitas kekuasaan hari ini?

Kita harus bertanya balik: Siapa sebenarnya yang perlu diedukasi?

Rakyat? Yang sejak lama justru paling tahu rasanya berjuang demi hidup, demi sesuap nasi, demi tanah yang dirampas, dan udara yang dikomersialisasi?

Atau para oknum pejabat yang masih doyan foya-foya di atas penderitaan rakyatnya, yang menjual aset negara, menumpuk kekayaan, memanipulasi kebijakan, dan saat dikritik malah berlindung di balik simbol negara dan jargon Pancasila?

Ironisnya, saat rakyat bersuara, bahkan lewat simbol fiksi, mereka justru dituduh tidak memahami nilai-nilai perjuangan. Rakyat dituding tidak Pancasilais, tidak nasionalis, bahkan dianggap makar. Padahal, dalam kenyataannya, merekalah yang selalu dikambinghitamkan atas nama perjuangan, sementara kebijakan negara makin tak berpihak dan makin tak pandang bulu.

Apa arti selembar bendera fiksi, dibandingkan dengan oknum pejabat yang tukang korup? Apa gunanya menegakkan simbol jika isinya busuk?

Lihat saja deretan kebijakan yang baru-baru ini muncul: rekening rakyat yang tidak aktif 3 bulan akan diblokir, tanah milik rakyat yang “nganggur” selama 2 tahun akan disita oleh negara, bahkan penggunaan media sosial akan dikenai pajak. Parahnya lagi, pemerintah berencana mengalihkan panggilan suara dan video call WhatsApp ke sistem berbayar.

Bayangkan jika semua itu diterapkan, apakah seperti ini bentuk “keberpihakan” negara kepada rakyatnya? Ketika rakyat diam, mereka dijadikan target kebijakan eksploitatif. Ketika rakyat bersuara, mereka dituduh makar. Sungguh, rakyat sudah terlalu sabar menghadapi logika kekuasaan yang membajak atas nama negara.

Dan seperti biasa, di momen seperti ini akan muncul “pahlawan kesiangan”, tokoh-tokoh yang mengaku pembela negara, penjaga nilai perjuangan, dan benteng terakhir Pancasila. Tapi pertanyaannya: siapa yang sebenarnya pantas dibela?

Rakyatkah, yang berjuang tanpa privilese, hidup dengan logika bertahan, dan sesekali mengangkat bendera fiksi sebagai simbol harapan?

Atau para oknum pejabat yang hidup dengan tunjangan, kekuasaan, dan kebal hukum?

Jika simbol budaya pop dianggap ancaman negara, mungkin yang benar-benar sedang krisis bukan nasionalisme, tetapi akal sehat kekuasaan.

(AR)

 

Tags:ARPiJogja IstimewaNKRIOne pieceOpini Republik bajaklautPos-Perasave IndonesiaSiapa yang pantas dibela

421|Share :

Baca Juga