Foto: Ilustrasi AR, Yogyakarta (20/08/2025).
Oleh: Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Yogyakarta, Rabu (20/08/2025) – Digitalisasi belanja barang dan jasa pemerintah melalui sistem E-Katalog sejatinya dimaksudkan untuk memangkas birokrasi, mempercepat proses, dan menutup celah korupsi tender konvensional. Namun, di lapangan muncul tanda-tanda bahwa E-Katalog justru membuka ruang lahirnya “korupsi gaya baru”, terutama pada sektor pekerjaan konstruksi.
Mengapa demikian?
Pertama, logika dasar E-Katalog adalah efisiensi. Harga sudah tercantum, penyedia tinggal dipilih, dan kontrak bisa segera berjalan. Tetapi dalam praktik, muncul indikasi bahwa pemilihan penyedia tidak benar-benar terbuka, melainkan telah dikondisikan sejak awal oleh oknum pejabat. Mekanismenya mirip dengan “penunjukan langsung” terselubung, hanya saja kini dibungkus rapi dengan label digital.
Kedua, sistem ini rawan mematikan perusahaan-perusahaan konstruksi kecil dan menengah. Mereka yang tidak memiliki akses politik, modal besar, atau jejaring dengan pejabat berwenang, sulit masuk dalam daftar penyedia. Alhasil, yang bertahan hanya perusahaan besar atau pihak-pihak yang sudah “bermain” di belakang layar. Inilah yang menimbulkan kecemasan: E-Katalog bukan lagi pasar terbuka, melainkan pasar eksklusif yang hanya bisa dimasuki segelintir kelompok.
Ketiga, risiko korupsi model baru bisa jauh lebih canggih. Jika tender konvensional sering dipenuhi praktik suap untuk memenangkan lelang, maka dalam E-Katalog, permainan bisa berpindah ke tahap verifikasi penyedia, penentuan spesifikasi, hingga pengondisian daftar harga. Semua bisa diatur secara digital, namun tetap sarat kepentingan. Publik mungkin melihatnya sebagai efisiensi, padahal hakikatnya tetap manipulasi.
Dampaknya bukan main.
• Kualitas pembangunan terancam menurun karena pekerjaan hanya dimonopoli kelompok tertentu.
• Persaingan usaha tidak sehat, perusahaan kecil berpotensi gulung tikar.
• Ketidakadilan ekonomi semakin nyata, karena hanya segelintir pihak yang diuntungkan.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka semangat digitalisasi hanya menjadi bungkus indah bagi praktik lama: rente, kolusi, dan korupsi. Bedanya, kini dengan wajah lebih modern dan lebih sulit dilacak.
Masyarakat, asosiasi kontraktor, hingga lembaga pengawas harus bersuara keras. Pemerintah pun mesti sadar: transparansi bukan sekadar soal digitalisasi, tetapi memastikan akses yang adil, kompetisi sehat, dan kontrol publik yang nyata. Tanpa itu semua, E-Katalog hanya akan menjadi mesin perampok baru dalam pembangunan negeri.
(AR)