Foto: Dr. Iwan Setyawan, SH, MH.
Oleh: Dr. Iwan Setyawan, SH, MH,
Harian Rakjat, Sleman – Rabu (20/08/2025), Penanganan kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata di Kabupaten Sleman terlalu lamban dan bertele-tele. Sudah lebih dari dua tahun berjalan, tetapi sampai hari ini belum juga ada penetapan tersangka. Hal ini menimbulkan kebingungan publik dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kepastian hukum.
Padahal, hukum pidana itu sederhana. Prinsipnya adalah pembuktian materiil. Dalam perkara korupsi, jika sudah ada penetapan resmi dari lembaga negara mengenai kerugian negara, maka hal itu sudah cukup menjadi alat bukti. Karena menyangkut keuangan negara, tentu saja ada pejabat negara yang harus bertanggung jawab. Walaupun praktiknya dilakukan anak buah, pimpinan tetap tidak bisa lepas dari tanggung jawab.
Dalam KUHP Pasal 184 disebutkan ada lima alat bukti, namun untuk membawa perkara ke pengadilan hanya dibutuhkan minimal dua alat bukti. Kalau sudah ada saksi ditambah bukti kerugian negara, itu sudah cukup. Jadi tidak perlu menghadirkan 300 saksi, karena satu atau dua saksi saja bisa menguatkan proses hukum.
Kalau memang sudah cukup alat bukti, seharusnya penetapan tersangka segera dilakukan. Biarkan persidangan yang menguji kebenarannya. Dengan begitu, masyarakat juga memperoleh kejelasan dan tidak dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian hukum.
Namun, justru yang terjadi, penanganan perkara ini semakin berlarut-larut. Bahkan ada wacana bahwa kasus ini akan dilimpahkan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY. Pertanyaannya, mengapa harus dilimpahkan, padahal Kejari sudah memiliki alat bukti yang lengkap? Apakah ini hanya cara untuk mengulur waktu, atau sekadar pengalihan isu?
Jika benar dipindahkan ke Kejati, maka kewenangan analisis akan berbeda. Bisa saja muncul nama tersangka baru, atau bahkan berganti tersangka. Situasi semacam ini dikhawatirkan justru menyelamatkan calon tersangka yang sudah ada, sementara orang yang tidak berkompeten bisa dijadikan korban. Pola ini mengingatkan pada praktik masa lalu, di mana mereka yang seharusnya bertanggung jawab justru lolos, sementara rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa dijadikan tumbal.
Saya melihat ada kemungkinan kasus ini dihentikan (SP3). Alasannya bisa bermacam-macam: dianggap tidak cukup bukti, saksi-saksi yang sudah dipanggil lupa keterangannya, atau proses yang terlalu lama hingga dianggap kadaluarsa. Semua itu hanya akan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak berani menetapkan tersangka.
Kata kuncinya sederhana: berani atau tidak menentukan tersangka. Hukum pidana adalah hukum pasti, bukan seperti hukum perdata yang bisa didamaikan. Kalau salah ya salah, kalau benar ya benar. Maka jangan biarkan kasus ini terus di-“ping pong” tanpa ujung. Negara harus hadir dengan kepastian hukum, bukan keragu-raguan.
(AR).