Foto: Ilustrasi AR
Harian Rakjat, Yogyakarta – Sabtu (30/08/2025), Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, menatap anak-anaknya yang kini dipaksa berhadap-hadapan. Ya, Ibu Pertiwi menangis, melihat rakyatnya diadu domba dengan bangsanya sendiri. Pertanyaan yang menggantung: siapa lawan siapa? Rakyat berhadapan dengan aparat, sementara mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan sibuk mencari aman.
Alih-alih membela rakyat, justru muncul pencitraan. Bukan kesejahteraan rakyat yang dipikirkan, melainkan tunjangan yang justru dinaikkan. Rakyat dipaksa menanggung beban pajak, sementara alasan demi alasan dikeluarkan untuk melegitimasi gaya hidup mewah para wakil rakyat. Nurani di Senayan seolah mati, telinga mereka tuli terhadap jeritan suara rakyat.
Bukankah suara rakyat adalah suara Tuhan? Namun kini, suara itu dianggap tak lebih dari gema kosong di jalanan. Rakyat dipolitisasi dengan iming-iming bansos, dijadikan alat dalam permainan kekuasaan. Etika dan moral yang seharusnya dijunjung tinggi justru dilecehkan. Wakil rakyat yang seharusnya jadi teladan, malah berperan bak badut politik.
Pertanyaan besar muncul: ketika demonstrasi anarkis pecah di jalanan, siapa yang disalahkan? Aparat kepolisian yang hanya menjalankan perintah atasan? Rakyat yang terpaksa turun ke jalan karena merasa dikhianati? Atau para dewan terhormat yang duduk manis sambil menyeruput kopi, bahkan sesekali liburan ke luar negeri?
Sudah cukup. Hentikan adu domba ini. Negeri ini dibangun dengan darah dan air mata perjuangan, bukan untuk diwariskan pada generasi yang tercerai-berai. Jangan biarkan rakyat saling menghantam, sementara elite politik bersandiwara di panggung kekuasaan.
Kepada aparat kepolisian: jangan lagi memandang rakyat sebagai musuh. Ingatlah, seragam dan senjata yang melekat di tubuh Anda dibiayai dari keringat rakyat. Tegakkan hukum dengan adil, bukan dengan kekerasan membabi buta. Ingatlah, yang kalian hadapi bukanlah musuh negara, melainkan saudara sebangsa.
Kepada para pendemo: suarakan aspirasi dengan lantang, tetapi jangan biarkan amarah membakar persaudaraan. Anarki hanya akan memperkuat stigma bahwa rakyat tidak mampu berdemokrasi dengan dewasa. Gunakan keberanian sebagai cahaya perubahan, bukan api yang membakar rumah sendiri.
Dan terakhir, kepada wakil rakyat di Senayan: buka mata dan telinga Anda! Jangan hanya pandai bersandiwara, karena rakyat sudah muak. Turunkan ego, ingatlah sumpah yang Anda ucapkan saat pertama kali duduk di kursi itu. Jangan jadikan rakyat tumbal demi kenyamanan pribadi. Negara ini terlalu mahal harganya untuk dipertaruhkan hanya demi tunjangan dan pencitraan murahan.
Ibu Pertiwi sudah terlalu sering menangis. Sudah saatnya air mata itu berhenti, diganti dengan senyum karena anak-anaknya mampu menjaga persatuan. Jangan biarkan sejarah mencatat bahwa generasi ini adalah generasi yang membiarkan negeri terkoyak oleh pengkhianatan nurani. (AR)