Foto: Ilustrasi
Suara Buruh: Cukai Tinggi dan Rokok Ilegal Menghantam Industri
Harian Rakjat, Sleman – Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Dani Eko Wiyono, menyoroti faktor utama yang menyebabkan munculnya isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Gudang Garam Tbk.
“Cukai yang tinggi menyebabkan daya beli menurun. Momentum ini dimanfaatkan oleh pembuat rokok tanpa cukai (ilegal) sehingga masyarakat memilih rokok tanpa cukai dengan harga rendah. Hal tersebut diperparah dengan absennya pengawasan dari pemerintah terhadap beredarnya rokok tanpa cukai. Tidak ada sanksi tegas terhadap produsen rokok tanpa cukai. Beban berat dialami oleh GG karena menurut saya ada potensi persaingan bisnis secara politis,” tegas Dani, Kamis (11/09/2025).
Pernyataan ini menggambarkan keresahan nyata buruh di tengah pusaran kebijakan fiskal, maraknya pasar gelap, dan dinamika persaingan bisnis yang tidak murni.
Kenaikan Cukai dan Daya Beli yang Tersendat
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau memang menjadi strategi pemerintah untuk menekan konsumsi sekaligus menambah pemasukan negara. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan hal berbeda. Daya beli masyarakat, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, tertekan.
Ketika harga rokok legal melonjak, konsumen beralih ke produk murah yang sebagian besar tidak membayar cukai. Data resmi menunjukkan sepanjang 2024, 752 juta batang rokok ilegal berhasil diamankan Bea Cukai. Angka ini hanya pucuk gunung es dari peredaran nyata di lapangan.
Lebih parah lagi, lebih dari 95% pelanggaran berupa rokok polos tanpa pita cukai. Artinya, produk tersebut benar-benar lolos dari pungutan negara. Negara kehilangan triliunan rupiah, industri resmi kehilangan pasar, sementara pengedar ilegal semakin diuntungkan.
PHK: Isu atau Realita yang Mengancam?
Isu PHK massal di Gudang Garam sempat menjadi perbincangan nasional. Manajemen perusahaan kemudian memberikan klarifikasi: yang terjadi adalah pelepasan karyawan melalui mekanisme pensiun, pensiun dini, dan habis kontrak, bukan PHK massal.
Namun dari sisi buruh, apapun istilah yang digunakan, dampaknya tetap sama: ada pengurangan tenaga kerja. Di Kediri dan sekitarnya, ribuan keluarga menggantungkan hidup pada industri rokok. Setiap kabar perampingan membawa keresahan besar.
Suara buruh yang disampaikan Dani Eko Wiyono menjadi penting: persoalan ini tidak hanya soal manajemen perusahaan, tetapi soal ekosistem industri yang terguncang oleh kebijakan cukai dan lemahnya pengawasan terhadap pasar ilegal.
Persaingan Bisnis Bernuansa Politis
Pernyataan Dani tentang adanya “potensi persaingan bisnis secara politis” membuka tabir lain. Industri rokok di Indonesia bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga punya dimensi politik.
Ketika perusahaan besar membayar cukai dalam jumlah masif, mereka justru harus bersaing dengan produk ilegal yang dibiarkan beredar luas. Di sisi lain, rumor dan narasi tentang PHK bisa saja dimainkan sebagai alat tekanan. Inilah yang membuat buruh merasa perusahaan mereka bukan hanya bertarung di pasar, tetapi juga di arena politik yang tak kasat mata.
Situasi ini tidak bisa dibiarkan. Ada beberapa langkah mendesak:
1. Penegakan hukum tegas terhadap rokok ilegal. Produsen dan distributor harus dihukum berat agar efek jera nyata.
2. Pita cukai digital (track & trace). Sistem modern untuk melacak produksi dan distribusi akan menutup celah pasar gelap.
3. Kebijakan cukai prediktif. Kenaikan cukai sebaiknya bertahap dan multiyears, bukan mendadak, agar industri bisa beradaptasi.
4. Perlindungan buruh. Pemerintah dan perusahaan harus menyediakan program pelatihan, bantuan transisi, dan jaring pengaman sosial.
5. Kontrol politik dan transparansi. Industri strategis ini tidak boleh menjadi arena persaingan politis yang merugikan buruh.
Pernyataan Ketua KSBSI Dani Eko Wiyono adalah alarm keras: beban cukai tinggi, peredaran rokok ilegal, lemahnya pengawasan, dan potensi persaingan politis telah menekan industri tembakau, khususnya Gudang Garam. Buruh menjadi pihak yang paling menderita.
Isu PHK, apapun nama yang diberikan adalah konsekuensi dari ekosistem yang pincang. Negara tidak boleh berdiam diri. Jika tidak ada langkah tegas, maka yang akan terus menjadi korban adalah wong cilik: buruh, petani, dan keluarga mereka yang hidup dari industri ini. (AR).