Minggu, 5 Okt 2025
Pojok Opini

Sopan Santun, Antara Kejujuran dan Topeng Sosial

Foto: Ilustrasi, Kamis (02/10/2025)

 

Oleh: Muhammad Arifin

Harian Rakjat, Klaten – Sopan santun bukan sekadar persoalan kata-kata indah, gerak tubuh formal, atau senyum yang tampak ramah. Ia sejatinya adalah bahasa tindakan, lahir dari kesadaran sosial dan kejujuran batin. Nilai sopan santun mestinya mencerminkan integritas seseorang, bukan sekadar penampilan luar yang bisa dipoles.

Namun, dalam realitas sosial, sopan santun sering kali dipersempit hanya menjadi persoalan formalitas. Banyak yang beranggapan bahwa sopan santun tidak lagi erat kaitannya dengan etika atau adab. Fenomena ini menimbulkan kesenjangan antara tampilan luar dan kepribadian sejati.

Seseorang bisa saja terlihat sopan di depan umum, tetapi hal itu tidak menjamin ia benar-benar menjunjung tinggi etika dalam kesehariannya. Ada yang begitu pandai menjaga tutur kata dan senyum, namun di baliknya menyimpan sikap manipulatif. Perbedaan tipis inilah yang kerap menyeret sopan santun ke wilayah kemunafikan, menjadikannya sekadar wajah ganda.

Ketika pikiran dipaksa agar selalu tampak sopan, kemurnian sikap justru hilang. Yang tersisa hanyalah tiruan—sebuah sandiwara sosial. “Sopan santun yang dipaksakan hanyalah topeng, menutupi realitas diri dengan kemunafikan yang terselubung di balik kata-kata manis.”

Di sinilah letak pentingnya membedakan antara sopan santun yang lahir dari hati, dengan sopan santun yang sekadar topeng. Yang pertama akan memancarkan ketulusan, sementara yang kedua hanya mempertebal kabut kepalsuan.

Sopan santun seharusnya bukan beban, apalagi alat pencitraan. Ia mestinya menjadi cermin kepribadian yang otentik, yang tidak terikat pada kepentingan atau kepura-puraan. Karena pada akhirnya, sopan santun tanpa kejujuran hanyalah kemasan kosong yang mudah pecah. (AR)

Tags:Berita JogjaEtika dan sopan santunKlaten bersinarWajah kemunafikan

304|Share :

Baca Juga