Foto: Ilustrasi
Oleh Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Yogyakarta – Minggu (05/10/2025), Sudah lama berdiri, tapi anehnya nama tokonya belum juga tertera. Fenomena modern mart di Kabupaten Bantul seperti menjadi rahasia umum yang dibiarkan. Bangunan megah dengan pendingin ruangan menyala terang setiap malam itu seolah muncul begitu saja, tanpa jejak proses, tanpa keterbukaan izin, tanpa tanda kejelasan siapa yang bertanggung jawab di baliknya.
Padahal, menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 21 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pasar Rakyat, Toko Swalayan, dan Pusat Perbelanjaan, pendirian minimarket berjejaring atau waralaba tidak boleh dilakukan sembarangan.
Pasal 36 secara tegas menyebutkan bahwa lokasi pendirian harus berpedoman pada rencana tata ruang daerah, dengan jarak minimal 3.000 meter dari pasar rakyat. Sementara Pasal 37 membatasi jumlah minimarket berjejaring di kawasan ring road selatan hingga perbatasan Sleman dan Kota Yogyakarta, maksimal hanya tiga gerai.
Namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Minimarket terus tumbuh di berbagai sudut Bantul, termasuk di jalur yang jelas-jelas sudah padat dan berdekatan dengan pasar rakyat. Pertanyaannya, izin siapa yang digunakan? Dan bagaimana mungkin toko bisa beroperasi bertahun-tahun tanpa kejelasan nama usaha dan legalitas yang terpampang?
Indikasi permainan dalam proses perizinan bukan lagi desas-desus. Berdasarkan keterangan sumber yang enggan disebutkan namanya demi keamanan, ada dugaan kuat bahwa praktik bisnis modern mart ini melibatkan “orang-orang besar” di Bantul, termasuk oknum pejabat dan bahkan anggota dewan yang seharusnya mengawasi jalannya regulasi. Jika benar demikian, maka persoalan ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan pelanggaran moral dan keadilan ekonomi rakyat kecil.
Lebih jauh, praktik serupa juga mencuat di sektor lain, seperti penggunaan tanah kas desa untuk pembangunan SPBU di beberapa titik wilayah Bantul. Tanah yang seharusnya menjadi sumber pendapatan dan kemakmuran warga, justru diduga dipakai untuk bisnis yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Lagi-lagi, celah perizinan menjadi alat permainan yang menyingkirkan kepentingan rakyat.
Kita patut bertanya: di mana peran Pemerintah Daerah dan DPRD Bantul? Apakah mereka benar-benar mengawasi jalannya Perda, atau justru ikut larut dalam euforia bisnis waralaba yang kian menggoda?
Modern mart memang menjanjikan kenyamanan dan efisiensi, tapi di balik rak-rak berlampu putih itu tersimpan ironi: pasar rakyat yang kian sepi, pedagang kecil yang kehilangan napas, dan aparat yang menutup mata.
Pelanggaran terhadap Perda bukan sekadar kesalahan teknis, tapi bentuk pembangkangan terhadap hukum yang dibuat oleh tangan mereka sendiri. Jika aturan hanya berhenti di lembaran kertas, sementara praktiknya disesuaikan dengan kepentingan, maka yang tersisa hanyalah aroma busuk kolusi di balik etalase modernitas.
Sudah saatnya publik Bantul menuntut transparansi. Izin pendirian toko berjejaring harus dibuka ke publik, lokasi-lokasi yang melanggar jarak pasar rakyat harus dievaluasi, dan dugaan keterlibatan oknum pejabat perlu diusut secara serius.
Sebab, bila negara diam di hadapan pelanggaran yang terang, maka rakyatlah yang paling kehilangan kepercayaan. (AR)