Foto: Kardiyono, juru kunci goa Sentonorejo Dusun Sentonorejo, Padukuhan Blambangan, Jogotirto, Berbah, Kabupaten Sleman, Sabtu (09/08/2025). AR
Di Dusun Sentonorejo, Padukuhan Blambangan, Kalurahan Jogotirto, Kapanewon Berbah (Sleman), seorang juru kunci menjaga goa dan melestarikan falsafah Jawa yang menjadi nafas hidupnya.
Harian Rakjat, Sleman – Di bibir Goa Sentonorejo, suasana tenang dan aroma batu tua menyambut siapa pun yang datang. Di sana berdiri Kardiyono, juru kunci yang sehari-hari merawat dan menjaga kelestarian goa serta tradisi yang melekat padanya. Bagi warga setempat dan pengunjung yang singgah, ia bukan sekadar penjaga tempat; ia adalah penjaga cerita, keyakinan, dan cara memaknai hidup.
Tentang Goa Sentonorejo
Goa Sentonorejo terletak di Dusun Sentonorejo, Padukuhan Blambangan, Kalurahan Jogotirto, Kapanewon Berbah, Sleman. Mulut goa dan dinding batu yang bertekstur memancarkan suasana sakral dan historis, tempat yang kerap menjadi tujuan wisata lokal, pelajar, dan peziarah budaya. Relief dan formasi batu di sekitar mulut goa menambah nuansa mistik dan menarik rasa ingin tahu pengunjung tentang akar kultural kawasan ini.
Profil: Kardiyono, Juru Kunci
Sebagai juru kunci, Kardiyono menjalankan tugas menjaga kebersihan, keselamatan, dan penghormatan terhadap ruang goa. Namun perannya lebih dari itu: ia juga menjadi pemandu lisan yang membagikan pengetahuan lokal, mitos, dan pemahamannya tentang kehidupan. Sederhana berpakaian, bertutur ramah, ia kerap mengajak pengunjung merenung tentang makna di balik setiap batu dan lorong yang dilalui.
Falsafah Hidup yang Menjadi Landasan
Kardiyono memaknai hidup lewat ngelmu Jawa — kawruh yang tumbuh dari pengalaman dan kesadaran batin. Ia sering mengutip ungkapan yang dekat dengannya: “Aku ada di mana-mana, bahkan lebih dekat daripada urat nadi di lehermu.” Bagi dia, semua wujud di dunia, tubuh manusia, batu, daun, dan udara, merupakan bagian dari kehendak Ilahi. Konsep Jawa seperti Urip (kehidupan), Nguripi (memilih untuk hidup), dan Nguripake (mengusahakan kehidupan sebagai proses) mewarnai caranya merawat goa dan berinteraksi dengan pengunjung.
Menjaga, Mengajarkan, dan Mengingatkan
Kardiyono percaya kebenaran tidak perlu dipertahankan lewat retorika, melainkan lewat penghayatan. Ia mengatakan bahwa mengakui asal-usul (Sangkan paraning dumadi) dan peran Tuhan dalam setiap wujud membuat manusia lebih rendah hati dan bertanggung jawab. Praktiknya sederhana: merapikan jalan setapak, membimbing pengunjung agar menghormati situs, dan berbagi kisah yang mengikat masa kini dengan masa lalu.
Tantangan dan Harapan
Seperti banyak penjaga situs tradisional lain, Kardiyono menghadapi keterbatasan: perhatian publik yang fluktuatif, minimnya dukungan anggaran untuk perawatan, hingga tantangan menjaga keseimbangan antara wisata dan kelestarian. Ia berharap ada lebih banyak upaya kolaboratif antara masyarakat, pihak daerah, dan pegiat budaya untuk melindungi warisan lokal—bukan hanya sebagai objek wisata, tapi sebagai ruang pembelajaran spiritual dan sejarah.
Di mulut Goa Sentonorejo, di bawah bayang batu yang telah menyaksikan waktu, Kardiyono mencontohkan bagaimana kehidupan sederhana bisa sarat makna. “Semua sudah Tuhan sediakan,” ucapnya pelan, “tinggal bagaimana kita memaknainya.” Dalam tugasnya sebagai juru kunci, ia tak hanya menjaga tempat, tapi juga menyalakan kesadaran bahwa setiap jejak sejarah adalah undangan untuk memahami diri dan dunia.
(AR)