Foto: Ilustrasi (AR), tokoh Luffy, Senin (11/08/2025).
Oleh: Muhammad Arifin
Di negeri yang katanya demokratis ini, bendera bergambar tengkorak kartun bisa membuat aparat bergerak, pejabat sibuk berkomentar, dan berita menjadi gaduh.
Lucu? Tidak. Ironis? Sangat.
Ketika rakyat menjerit karena harga bahan pokok melambung, lapangan kerja menyempit, dan korupsi terus menggerogoti anggaran negara, yang justru dikejar adalah kain bergambar karakter fiksi.
Kasus bendera One Piece yang dianggap “mengandung unsur makar” memperlihatkan betapa tipisnya rasa percaya diri kekuasaan. Padahal, itu hanya simbol fiksi dari komik dan anime yang sudah puluhan tahun menjadi bagian dari budaya pop.
Tak ada manifesto politik, tak ada ajakan memberontak, hanya ekspresi suka cita fans yang terhubung oleh tokoh rekaan bernama Monkey D. Luffy.
Ironisnya, mereka yang mengibarkan bendera One Piece justru sering kali lebih paham arti perjuangan dan nilai luhur Pancasila dibanding sebagian pejabat yang mengaku menjaganya. Mereka tahu betul bahwa Luffy dan krunya adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, pembelaan pada kawan, dan keberanian melawan tirani.
Mirisnya, nilai-nilai itu kini justru diinjak-injak oleh oknum pejabat atau penguasa yang mengotori amanah perjuangan dengan korupsi, menindas rakyat melalui kebijakan yang tidak berpihak, dan mengkhianati semangat kemerdekaan yang seharusnya mereka jaga.
Reaksi berlebihan ini bukan sekadar salah kaprah, melainkan gejala penyakit lama: kekuasaan yang alergi terhadap simbol-simbol yang tidak bisa ia kendalikan. Seolah-olah, setiap bentuk ekspresi yang tidak sesuai dengan standar “aman” versi penguasa adalah ancaman.
Begitulah paranoia bekerja, ia tidak lagi membedakan antara senjata dan mainan. Jika bendera bajak laut fiksi saja dianggap mengancam, maka bagaimana dengan rakyat yang mengibarkan spanduk protes terhadap kenaikan harga, pemotongan subsidi, atau proyek tambang yang merusak lingkungan? Apakah mereka juga akan dilabeli makar?
Apakah setiap tanda ketidakpuasan harus dilibas dengan pasal-pasal karet?
Kebebasan berekspresi adalah hak yang dijamin konstitusi, dan mengaitkan simbol fiksi dengan makar adalah logika yang dibangun di atas ketakutan, bukan hukum. Ini berbahaya, karena ketakutan itu mudah berubah menjadi represi.
Hari ini bendera anime, besok bisa kaos band, poster film, atau bahkan meme di media sosial yang dianggap subversif.
Kekuasaan yang kuat tidak gentar pada simbol.
Ia justru membiarkan rakyat tertawa, berkarya, dan berekspresi, sebab ia tahu kekuatan sejatinya ada pada legitimasi, bukan intimidasi.
Sebaliknya, kekuasaan yang rapuh akan sibuk memburu bayangan, hingga lupa bahwa ancaman nyata justru datang dari korupsi, ketidakadilan, dan ketidakmampuan dirinya sendiri.
Maka, jika penguasa masih panik oleh kain bergambar tengkorak lucu, kita patut khawatir: bukan soal bendera, tapi soal masa depan kebebasan kita. Sebab pada titik itu, musuh terbesar rakyat bukanlah bajak laut fiksi, melainkan para penguasa yang takut pada imajinasi.
(AR).