Rabu, 22 Okt 2025
NasionalPojok Opini

BBWSSO Abaikan UU Kebebasan Pers

Foto: Ilustrasi (AR/HarianRakjat)

 

Oleh: Muhammad Arifin

Harian Rakjat, Sleman – Kamis (16/10/2025), Mengetahui ada sebagian warga penambang Progo yang menginap di kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), beberapa jurnalis bermaksud melakukan peliputan dan klarifikasi terkait aksi unjuk rasa masyarakat penambang Progo yang berlangsung sehari sebelumnya, Rabu (15/10).

Untuk itu, pada Kamis (16/10), sejumlah wartawan mendatangi kantor BBWSSO. Namun bukan informasi yang mereka dapatkan, melainkan penolakan keras dari petugas keamanan.

“Maaf, wartawan tidak boleh masuk. Ini perintah pimpinan,” ujar salah satu petugas security di gerbang.

Tidak ada surat resmi, tidak ada dasar hukum, hanya perintah sepihak yang secara nyata membungkam kerja jurnalis di lapangan. Padahal, para wartawan datang dengan identitas jelas dan menjalankan tugas konstitusional sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang tersebut disebutkan, “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”

Sedangkan Pasal 18 ayat (1) menegaskan ancaman hukum yang tegas:

“Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”

Artinya jelas, tindakan BBWSSO bukan hanya bentuk diskriminasi, melainkan pelanggaran terhadap hukum negara.

Menutup akses wartawan berarti menutup akses rakyat terhadap informasi. Karena pers bukan kepentingan individu, tapi instrumen demokrasi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas publik.

Sikap semacam ini menunjukkan arogansi birokrasi yang semakin jauh dari semangat keterbukaan. Lembaga pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru bertingkah seperti korporasi tertutup yang alergi kritik.

Aksi penambang rakyat di halaman BBWSSO adalah suara dari lapisan bawah yang selama ini jarang didengar. Mereka menuntut keadilan atas kebijakan yang mempengaruhi hidup dan pekerjaan mereka. Tapi ketika wartawan, satu-satunya jembatan suara rakyat, dihalangi, maka yang dibungkam bukan hanya pers, tapi nurani publik itu sendiri.

Seorang jurnalis di lokasi mengatakan,

“Kami hanya ingin meliput dan melakukan konfirmasi, tapi dilarang masuk. Ini bukan soal kami pribadi, ini soal hak publik untuk tahu.”

Larangan ini bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan isyarat bahaya. Bayang-bayang represi masih hidup dalam tubuh birokrasi negeri ini, dengan wajah baru yang lebih sopan tapi sama menakutkannya: ketertutupan.

Sudah saatnya BBWSSO memberi klarifikasi terbuka dan meminta maaf kepada publik dan insan pers. Karena ketika pagar kantor pemerintah berubah menjadi tembok yang menghalangi kebenaran, maka yang sedang dibangun bukan negara hukum, melainkan rezim ketakutan. (AR/HarianRakjat).

Tags:abaikan UU kebebasan persBBWSSOberita viralberitajogjaIndependensi JurnalisPers Indonesia

182|Share :

Baca Juga