Minggu, 5 Okt 2025
NasionalPojok Opini

Dari Desa untuk Dunia: Kulonprogo Bangkit Lewat Pariwisata dan Budaya

Foto: Ilustrasi (AR), Senin (04/08)

Didorong Dana Keistimewaan DIY dan inovasi dinas setempat, geliat pariwisata Kulonprogo tak hanya memoles alam, tapi juga merawat budaya. Kini, desa-desa yang dulu sunyi menjelma jadi wajah baru wisata Indonesia yang ramah dan berbudaya.

Harian Rakjat, Kulonprogo – Di balik lembah hijau Pegunungan Menoreh dan riuh debur ombak Samudra Hindia, Kulonprogo diam-diam meniti panggung dunia. Dari desa-desa yang dulu terpencil dan luput dari sorotan wisata Yogyakarta, kini satu per satu menyuguhkan pesonanya dengan penuh percaya diri: Kebun Teh Nglinggo, Puncak Suroloyo, Kalibiru, hingga ekowisata Sungai Mudal dan Kedung Pedut. Yang dulunya sunyi dan tak dikenal, kini disambangi ribuan pengunjung—bahkan dari mancanegara.

Apa yang sedang terjadi?

Kulonprogo memberi pelajaran penting: bahwa pembangunan tak harus bertumpu pada betonisasi dan mal besar. Ia membuktikan bahwa kekayaan alam dan kearifan lokal adalah tambang emas yang tak ternilai. Anak-anak muda desa kini menjadi pemandu wisata, pelaku UMKM, bahkan konten kreator yang mempromosikan kampung halamannya ke dunia. Ibu-ibu membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis), menyambut tamu dengan teh racikan lokal dan kuliner khas seperti geblek dan tempe benguk. Ada semangat gotong royong yang tak tergantikan oleh algoritma mesin.

Tak tanggung-tanggung, gelontoran Dana Keistimewaan DIY turut menambah gairah pembangunan sektor ini. Dukungan dana tersebut tak sekadar memperbaiki infrastruktur dan fasilitas wisata, tetapi juga mendorong pelestarian budaya dan penguatan kapasitas masyarakat lokal. Di tangan Dinas Pariwisata Kulonprogo, inovasi-inovasi baru terus bermunculan, dari penyelenggaraan festival budaya, pelatihan digital marketing wisata desa, hingga pengembangan jalur wisata budaya yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Yang semula hanya mengandalkan pemandangan alam, kini Kulonprogo melesat dengan kekuatan budaya dan tradisi lokal. Kesenian rakyat kembali dipentaskan, adat-istiadat dirayakan bukan sebagai tontonan, tetapi sebagai identitas. Anak-anak desa diajak kembali mencintai tari tradisional, tembang macapat, hingga wayang, sebagai warisan yang memperkuat daya tarik wisata secara berkelanjutan.

Namun geliat ini juga menyimpan tantangan. Akses jalan menuju beberapa destinasi masih belum optimal, sinyal internet tersendat, dan belum semua pelaku wisata mendapat pelatihan memadai. Yang lebih penting, kekhawatiran akan komersialisasi budaya dan kerusakan lingkungan menjadi bayang-bayang nyata. Kita tentu tak ingin desa-desa ini hanya jadi “objek wisata” tanpa perlindungan atas ruang hidup mereka sendiri.

Pemerintah daerah dan pusat harus mengedepankan pembangunan berbasis komunitas, bukan sekadar proyek-proyek instan yang mengabaikan akar lokal. Dana pariwisata jangan hanya habis untuk membangun spot selfie, tapi juga mesti menjamin keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat desa. Investasi yang masuk pun harus diawasi agar tidak menggeser posisi warga lokal dari tanah dan tradisinya sendiri.

Geliat pariwisata Kulonprogo memang layak disorot dunia. Tapi sorotan itu harusnya juga jadi pengingat: bahwa pusat dari semua ini adalah rakyat desa yang selama ini bersabar dalam sunyi. Ketika dunia mulai melihat Kulonprogo, jangan biarkan warganya justru tersingkir dari panggung utama.

• Muhammad Arifin adalah penulis opini dan pemerhati isu sosial budaya di Yogyakarta.

Tags:Dari desa untuk DuniaDinas pariwisata kabupaten KulonprogoJogja IstimewaKulonprogoPesona bumi Menorehpesona IndonesiaSambanggo

447|Share :

Baca Juga