Jumat, 26 Sep 2025
NasionalPojok Opini

Independensi Jurnalis Dimakamkan Bersama Gaji dan Nyali

Foto: Ilustrasi AR, Selasa (05/08)

Di atas kertas, jurnalis adalah pilar keempat demokrasi. Ia bertugas mengawasi kekuasaan, mengedukasi publik, dan menyuarakan yang bisu. Namun di balik idealisme itu, kehidupan jurnalis kerap diwarnai ironi: dituntut profesional, tapi tak dijamin sejahtera; dituntut independen, tapi harus tunduk pada dapur redaksi yang kerap dikendalikan iklan, pemilik modal, atau kekuasaan.

Realitas di lapangan bahkan lebih getir. Masih banyak jurnalis, terutama di daerah, yang bekerja tanpa gaji tetap. Mereka hanya mengandalkan honor per berita, atau lebih mengenaskan lagi, menggantungkan hidup dari “amplop” narasumber. Dalam kondisi seperti ini, idealisme mudah dikorbankan. Bagaimana mungkin seorang jurnalis bisa bersikap kritis dan independen jika keberlangsungan hidupnya saja tidak pasti?

Celakanya, tekanan terhadap jurnalis tidak hanya datang dari sisi ekonomi. Banyak jurnalis yang masih mengalami intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan, saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Di sejumlah daerah, jurnalis harus berhadapan dengan aparat, preman bayaran, atau kekuasaan lokal yang alergi terhadap kritik. Laporan investigatif bisa berujung teror. Tulisan tajam bisa dibayar dengan keselamatan jiwa.

Independensi jurnalis bukan semata soal keberanian menulis yang benar. Ia juga soal keberanian menolak intervensi, dan keberanian itu mahal harganya. Jika jurnalis tak dilindungi secara ekonomi dan hukum, maka ruang kompromi semakin terbuka. Kita tidak bisa menuntut jurnalis untuk selalu tegak lurus pada kebenaran sementara mereka sendiri dibiarkan rapuh secara struktural.

Persoalan makin rumit ketika media menjelma menjadi korporasi. Kepentingan bisnis kerap menelikung kebebasan redaksi. Berita dikurasi bukan berdasar kepentingan publik, tapi berdasar kepentingan pemilik saham atau sponsor. Jurnalis menjadi “buruh informasi” yang tak punya kuasa atas isi. Tak sedikit yang akhirnya memilih “taat” demi kelangsungan karier. Yang kritis, perlahan disingkirkan.

Apakah masih mungkin menjaga independensi di tengah tekanan ini? Jawabannya: mungkin, tapi syaratnya banyak. Pertama, harus ada komitmen tegas dari perusahaan media untuk membebaskan ruang redaksi dari tekanan bisnis dan politik. Kedua, perlindungan terhadap kesejahteraan jurnalis harus diperkuat, termasuk jaminan upah layak, asuransi, dan perlindungan hukum. Ketiga, organisasi profesi jurnalis harus berani bersikap—bukan hanya soal etika, tapi juga soal keadilan sosial bagi anggotanya.

Pers yang merdeka hanya lahir dari jurnalis yang merdeka. Dan kemerdekaan itu tak cukup hanya dalam nalar, tapi juga dalam kenyataan hidup. Jika kita masih ingin menjadikan pers sebagai pengawal demokrasi, maka memperjuangkan kesejahteraan jurnalis bukanlah pilihan, melainkan keharusan.

(AR)

*) Penulis adalah jurnalis independen dan pegiat literasi media.

Tags:Independensi JurnalisIndependensi Jurnalis dimakamkan bersama gaji dan nyaliJogja IstimewaKemerdekaan persPers Indonesia

1213|Share :

Baca Juga