Minggu, 5 Okt 2025
NasionalPojok Opini

Keistimewaan yang Menyesakkan: 13 Tahun UU Keistimewaan DIY, Kawulo Alit Kian Terpinggirkan

Foto: Ilustrasi (AR), Sabtu (26/07/2025)

Oleh: Muhammad Arifin

Harian Rakjat, Yogyakarta – Tiga belas tahun sudah Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 13 Tahun 2012) disahkan. Undang-undang yang digadang-gadang sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah, budaya, dan tata pemerintahan khas Yogyakarta ini pada awalnya disambut dengan harapan besar. Namun hari ini, justru banyak kawulo alit yang merasakan: keistimewaan itu tidak pernah benar-benar hadir untuk mereka.

Alih-alih menjadi pelindung nilai-nilai lokal dan hak rakyat atas ruang hidup, keistimewaan justru berubah menjadi senjata kekuasaan. Rakyat digusur atas nama tata ruang istimewa. Lahan-lahan rakyat diklaim sebagai tanah SG (Sultan Ground) atau PAG (Pakualaman Ground) dan dikuasai demi proyek strategis yang tidak pernah mereka minta.

Ketika Keistimewaan Menjadi Instrumen Kekuasaan

Di balik peringatan 13 tahun UU Keistimewaan DIY, realitas yang dihadapi rakyat kecil justru menyedihkan. Banyak warga yang digusur secara paksa dari tanah yang telah mereka huni secara turun-temurun. Mereka tak berdaya menghadapi kuasa negara dan keraton yang menyatu, menjadikan ruang hidup sebagai objek perencanaan pembangunan yang tak berpihak.

Proyek bandara NYIA, jalan tol Jogja–Solo–Bawen, hotel-hotel mewah di pusat kota, hingga apartemen vertikal di atas tanah SG—semuanya menjanjikan kemajuan, tapi menyisakan kemunduran bagi rakyat kecil. Di mana letak “istimewa”-nya ketika rakyat justru kehilangan hak dasarnya untuk tinggal dan hidup layak?

Budaya Dijadikan Alat Legitimasi

Nilai-nilai budaya lokal yang seharusnya memperkuat identitas rakyat justru kerap dipakai untuk membungkam kritik. Mereka yang menolak penggusuran dianggap tidak “njawani”. Mereka yang menuntut hak tanah dituding tak menghormati keraton. Ini bukan pelestarian budaya, tapi manipulasi budaya untuk merawat dominasi.

Keistimewaan tanpa koreksi menjelma jadi alat feodalisme baru yang meminggirkan rakyatnya sendiri. Demokrasi lokal dibungkam oleh sentralisasi tafsir atas apa yang disebut “budaya”, yang seolah-olah hanya boleh dimaknai oleh para elit.

Rebut Makna Keistimewaan yang Sejati

Peringatan 13 tahun UU Keistimewaan DIY seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh. Apakah selama ini keistimewaan benar-benar digunakan untuk memberdayakan rakyat? Atau justru menjadikan DIY sebagai ladang kuasa dan kapital yang tidak bisa diganggu gugat?

Keistimewaan yang sejati bukanlah pelestarian simbolik atau ritual-ritual yang dipertontonkan di halaman keraton. Keistimewaan sejati adalah ketika rakyat kecil merasa aman, diakui haknya, dan diberdayakan untuk turut serta membangun daerahnya. Tanpa itu semua, keistimewaan hanyalah nama lain dari penghisapan yang dilapisi sejarah.

Penutup Dari Istimewa Menuju Adil

Keistimewaan tidak boleh menjadi tameng bagi tirani. Ia harus menjadi jembatan bagi keadilan sosial. Jika tidak, maka peringatan 13 tahun UU Keistimewaan DIY hanyalah pesta para penguasa, yang dirayakan di atas reruntuhan harapan kawulo alit.

Kini saatnya kita bertanya kembali: Untuk siapa keistimewaan ini dicanangkan? Dan lebih penting lagi: Siapa yang selama ini terpaksa diam karena tak punya kuasa untuk mempertanyakannya?

(AR)

Tags:Jogja BudayaJogja IstimewaKawulo alit yang terpinggirkanUU keistimewaan DIY


Baca Juga