Foto: ilustrasi
Harian Rakjat, Yogyakarta – Setiap pagi, dapur-dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dipenuhi aktivitas. Pekerja—sebagian besar ibu rumah tangga—sibuk menanak nasi, menggoreng lauk, hingga menyiapkan ratusan kotak makan untuk anak-anak sekolah.
Namun, di balik peran penting itu tersimpan persoalan serius: ribuan buruh MBG masih bekerja tanpa jaminan keselamatan kerja.
Data per 15 September 2025 menunjukkan, dari total 54 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan 5.029 pekerja, hanya 34 dapur dengan 1.471 pekerja yang telah terdaftar dan terlindungi. Artinya, lebih dari 3.500 buruh hingga kini belum mendapatkan kepastian perlindungan kerja.
Ketimpangan paling mencolok terjadi di Kabupaten Sleman dengan selisih 19 dapur dan 1.774 pekerja yang belum terjamin. Di Bantul tercatat 402 pekerja belum terlindungi, di Gunungkidul 275 pekerja, serta di Kulon Progo 158 pekerja. Sementara di Kota Yogyakarta, seluruh dapur dan pekerja belum terdaftar sama sekali.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kecelakaan kerja atau masalah kesehatan yang menimpa para buruh?
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) DIY menegaskan bahwa buruh wajib memperoleh jaminan keselamatan kerja sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Buruh atau pekerja wajib diberikan jaminan keselamatan kerja. Tidak boleh ada yang dibiarkan tanpa perlindungan, apalagi mereka yang bekerja untuk kepentingan publik dalam program makan bergizi gratis,” tegas Dani Eko Wiyono Korwil KSBSI DIY, Sabtu (19/09/2025).
Program MBG digagas pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas gizi anak sekolah. Namun, para buruh yang menjadi ujung tombak pelaksana justru masih menghadapi risiko kerja tanpa perlindungan memadai.(AR)