Rabu, 22 Okt 2025
NasionalPojok Opini

Tidur di Tengah Ketidakadilan: Negara yang Absen di Depan Pintu BBWSSO

Foto: Ilustrasi 

 

Oleh: Muhammad Arifin

Sleman, Harian Rakjat — Lima hari lima malam rakyat kecil tidur di halaman Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) DIY.

Mereka bukan pengemis, bukan gelandangan. Mereka para penambang Sungai Progo yang tergabung dalam Paguyuban Penambang Progo Sejahtera (PPPS) — orang-orang yang selama ini menambang pasir dengan keringat, bukan dengan izin atas nama pejabat.

Mereka tidur di depan kantor negara yang seharusnya menjadi tempat mereka mengadu. Namun negara memilih diam.

Para penambang menunggu surat izin rekomtek agar bisa kembali bekerja, memberi makan keluarga, dan membiayai sekolah anak-anak. Tapi yang datang bukan izin, melainkan ketidakpastian yang berhari-hari berubah menjadi penghinaan.

“Kalau sampai sore tidak ada keputusan, kami akan pulang dan datang lagi dengan massa lebih besar. Kalau perlu, kami blokade jalan Solo, bahkan long march ke Kepatihan,” tegas Agung, salah satu perwakilan PPPS.

Suara seperti Agung bukan teriakan amarah. Itu jerit lapar yang lahir dari keputusasaan panjang, jerit rakyat yang sudah muak dijanjikan rapat-rapat tanpa hasil.

Negara ini terlalu pandai berbicara soal pengelolaan sumber daya alam, tapi gagap ketika dihadapkan pada rakyat yang hidup dari sumber daya itu sendiri.

Di atas kertas, mereka disebut penambang rakyat. Tapi di lapangan, mereka diperlakukan seperti penjahat.

Sementara perusahaan besar bisa menambang dengan alat berat dan izin instan, penambang kecil justru dihentikan dengan alasan “prosedur rekomtek belum selesai.” Ironisnya, prosedur itu digantung tanpa batas waktu, tanpa tanggung jawab.

Ketika media mencoba mengonfirmasi BBWSSO, jawaban yang keluar hanya, “Saya tanyakan dulu ke pimpinan, Pak. Saya juga belum dapat info.”

Kata “belum tahu” menjadi wajah nyata birokrasi kita, dingin, lamban, dan berjarak dari kenyataan rakyat.

Padahal, di luar pagar kantor itu, ada keluarga yang menunggu suami pulang dengan membawa beras, bukan kabar kosong.

“Kami hanya ingin kerja lagi, bisa ngidupi keluarga dan nyekolahke anak. Itu saja,” kata Umar, penambang lain dengan mata yang nyaris kehilangan cahaya harapan.

Namun di negeri ini, bahkan untuk bekerja pun rakyat harus berhadapan dengan labirin izin yang membunuh waktu dan harga diri. Birokrasi yang katanya demi tertib administrasi, kini justru menjadi alat untuk menertibkan perut rakyat.

BBWSSO menyebut hasil koordinasi akan disampaikan kepada Kanjeng Sultan HB X, tapi hingga tulisan ini dibuat, tak ada kabar, tak ada empati.

Mungkin laporan sudah sampai ke atas meja, tapi rakyat tetap tidur di tanah, bukan di atas karpet kekuasaan. Dan ketika rakyat menunggu dengan sabar, negara menunda dengan sopan.

Sama-sama diam, tapi bedanya: yang satu lapar, yang lain kenyang. Sudah saatnya kita bertanya:

Apakah rakyat kecil harus membuat keributan agar didengar? Apakah suara dari tepi Sungai Progo tak cukup keras karena tak keluar dari mikrofon pejabat?

Rakyat kecil seperti PPPS tak butuh seminar tentang kesejahteraan. Mereka butuh izin untuk bekerja, untuk hidup, untuk bertahan. Namun yang mereka terima hanyalah tanda tangan yang tak pernah turun dan janji yang tak pernah ditepati.

Negara yang mestinya hadir, kini justru bersembunyi di balik meja rapat dan laporan administratif. Dan di halaman BBWSSO itu, rakyat kecil sedang menunggu, bukan belas kasihan, tapi keadilan.

Mereka tidur di tanah, sementara para pejabat tidur di kursi empuk. Dan di antara dua tidur itu, keadilan pun ikut terlelap. (AR/Harian Rakjat)

 

Tags:BBWSSOPenambang pasir ProgoPPPS


Baca Juga