Foto: Ilustrasi (AR)
Oleh Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Yogyakarta – Sistem pengadaan barang dan jasa melalui E-Katalog yang diperkenalkan pemerintah sebagai wujud digitalisasi dan efisiensi belanja publik kini menuai kritik dari para pelaku usaha jasa konstruksi di daerah, termasuk di Kabupaten Bantul, Kulonprogo, dan kini mulai merambah Sleman.
Bukannya mempermudah, sistem ini justru dianggap mengeliminasi pelaku usaha lokal dan menyisakan celah korupsi dengan wajah baru. Sejumlah kontraktor kecil dan menengah mengaku tidak lagi memiliki ruang untuk bersaing secara adil.
“Survey harga di E-Katalog tidak mencerminkan harga riil. Banyak barang dengan harga terlalu rendah, tidak masuk akal. Kami akhirnya tidak bisa ikut bersaing,” ujar R, seorang kontraktor di Kulonprogo.
Menurutnya, ada pola baru di mana perusahaan besar atau pihak-pihak tertentu sudah lebih dahulu menanamkan harga dalam sistem, sehingga ketika penyedia lokal ingin mendaftar, mereka kalah bersaing dari sisi harga, meskipun kualitas dan pengalaman kerja mereka mumpuni.
Perencanaan Tanpa Partisipasi
Masalah lainnya adalah minimnya transparansi dalam perencanaan belanja dan tender jasa konstruksi. Banyak paket pekerjaan yang dirancang secara tertutup, bahkan diumumkan mendadak tanpa proses komunikasi dengan asosiasi pengusaha lokal. Hal ini menyebabkan sebagian besar proyek akhirnya hanya dimenangkan oleh segelintir perusahaan yang “sudah siap”.
Padahal, semangat awal digitalisasi pengadaan adalah menjamin keterbukaan, efisiensi, dan pemberdayaan pelaku usaha daerah, bukan menyerahkan penguasaan proyek kepada pemain lama yang punya akses khusus terhadap sistem.
Celah Korupsi yang Tersembunyi
Walaupun diklaim sudah “by system”, banyak pihak menilai sistem ini tetap bisa dimainkan dari hulu ke hilir. Dari manipulasi spesifikasi, survey harga yang tak objektif, hingga “pengondisian” agar hanya satu-dua perusahaan yang memenuhi kriteria teknis dan harga.
“Jangan salah, sistem digital pun bisa diakali. Yang penting bukan hanya digitalisasinya, tapi juga siapa yang mengendalikan sistem itu,” kata seorang pengusaha konstruksi di Bantul yang enggan disebut namanya.
Tambahan keluhan juga muncul dari aspek pelaksanaan di lapangan. Ketika terjadi keterlambatan pekerjaan atau dibutuhkan addendum kontrak, muncul kebingungan soal perhitungan denda dan fleksibilitas penyesuaian dalam sistem E-Katalog yang dianggap kaku dan tidak adaptif.
“Kami pernah mengalami keterlambatan karena faktor teknis di lapangan. Saat ingin ajukan addendum justru dibenturkan dengan aturan sistem. Pertanyaannya, apakah perhitungan denda sama seperti proyek yang tidak lewat E-Katalog?” keluh A, penyedia jasa konstruksi dari Bantul.
Menurutnya, regulasi yang kaku dan tidak mengakomodasi dinamika pekerjaan justru merugikan penyedia yang bekerja serius. Ia menyebut sistem terlalu “kebal kritik”, padahal pelaksanaan proyek tidak selalu bisa sesuai dengan rencana awal.
Kekhawatiran Besar: Usaha Lokal Terancam Mati
Seiring banyaknya kabupaten yang mulai memusatkan seluruh proses pengadaan melalui E-Katalog, kekhawatiran besar mencuat di kalangan pengusaha jasa konstruksi. Mereka menilai sistem ini akan mempercepat proses “seleksi alam” yang tak adil, dimana pelaku usaha kecil akan tumbang, hanya menyisakan pemain besar yang menguasai sistem.
“Kalau semua proses pengadaan konstruksi masuk E-Katalog, ya siap-siap saja banyak rekanan lokal gulung tikar. Kami sudah sangat terpukul,” ujar salah satu ketua asosiasi jasa konstruksi.
Saat ini, Kabupaten Sleman pun disebut telah mulai menggeser sebagian besar proses lelangnya ke sistem E-Katalog. Ini menambah daftar wilayah yang berpotensi menutup ruang akses pengusaha lokal atas nama efisiensi sistem.
Membuka Ruang Koreksi
Sudah saatnya pemerintah daerah tidak hanya menyandarkan diri pada sistem digital semata, melainkan juga membuka ruang partisipasi yang adil. E-Katalog dan pengadaan elektronik harus dievaluasi secara berkala dengan melibatkan:
*Asosiasi pengusaha lokal (GAPENSI, AKI, dll.)
*Lembaga pengawasan independen
*Publik sebagai pengguna akhir layanan infrastruktur
Transparansi bukan hanya soal teknologi, tapi juga tentang kemauan politik untuk membenahi sistem yang selama ini rawan dimainkan. Jika tidak, maka E-Katalog hanyalah transparansi semu, yang tampak digital dan steril dari luar, tapi tetap basah oleh kepentingan dari dalam.
(AR)