Minggu, 5 Okt 2025
Pojok Opini

Janji Ketertiban yang Mengguncang Nurani

Foto: Ilustrasi 

 

Oleh Muhammad Arifin

Harian Rakjat, Klaten – Mereka datang dengan janji keteraturan, membawa kata-kata manis tentang masa depan yang damai. Namun pertanyaan sederhana selalu terlintas: siapa yang sesungguhnya mereka tertibkan? Apakah benar mereka menjaga keseimbangan, atau justru menundukkan mereka yang sudah rapuh, yang suaranya tak pernah didengar?

Keteraturan sering dipuja sebagai simbol peradaban. Tetapi terlalu sering, keteraturan hanya berarti diamnya orang-orang kecil yang dipaksa patuh. Mereka yang kuat tetap berkuasa, sementara yang lemah makin tak berdaya. Maka, janji keteraturan itu, alih-alih menghadirkan keadilan, justru menyingkap wajah penindasan yang terselubung dalam bahasa manis.

Mereka berbicara tentang keamanan. Namun mengapa rasa aman itu hanya menjadi hak istimewa mereka yang duduk di kursi kekuasaan? Mengapa keamanan tidak pernah sampai kepada mereka yang bekerja di ladang, yang berjualan di pasar, atau yang hidup di lorong-lorong sempit kota? Apakah keamanan hanya bisa ditegakkan untuk melindungi tahta, sementara rakyat jelata tetap hidup dalam ketakutan yang tak berkesudahan?

Kita diajari untuk percaya bahwa mereka adalah pelindung. Namun, semakin lama, semakin jelas bahwa pelindung itu lebih sibuk melindungi dirinya sendiri. Sementara rakyat yang seharusnya mereka jaga, dibiarkan berjuang sendiri di tengah badai persoalan hidup.

Inilah ironi yang berulang dalam perjalanan bangsa: janji manis berubah menjadi penjara, kata “ketertiban” menjelma borgol, dan kata “keamanan” menjadi pagar yang hanya mengitari istana, bukan rumah-rumah rakyat di pinggiran.

Namun sejarah selalu memberi ruang bagi kesadaran. Rakyat tidak akan selamanya diam. Suatu saat, mereka akan bertanya, menggugat, bahkan menuntut haknya kembali. Karena keteraturan sejati bukanlah keteraturan yang lahir dari rasa takut, melainkan dari rasa percaya.

Keamanan yang sesungguhnya bukanlah keamanan yang hanya dimiliki penguasa, melainkan rasa aman yang dirasakan bersama—tanpa tembok tinggi, tanpa pagar besi, tanpa jarak antara tahta dan rakyat.

Sebab pada akhirnya, janji keteraturan yang tak berwajah adil hanyalah bayangan rapuh. Ia akan runtuh ketika nurani manusia sadar: ketertiban tanpa keadilan hanyalah kedok penindasan. (AR)

Tags:Berita Jogjaberita viralJogja IstimewaKeadilan masih tajam kebawahKetertiban yang Mengguncang NuraniKlaten bersinarNKRI


Baca Juga