Foto: Ilustrasi
Oleh Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Yogyakarta – Kamis (11/09/2025), Di bantaran Kali Progo, nasib penambang pasir rakyat makin terjepit. Mereka yang sudah puluhan tahun bekerja dengan keringat, kini seakan menjadi penjahat di tanah kelahiran sendiri. Bukan karena merusak, bukan karena melanggar aturan, tetapi karena perizinan yang sengaja dipersulit.
Ketika rakyat kecil mengajukan izin, jawabannya berputar-putar. Dinas terkait seolah tuli, BBWSO pun bungkam. Tetapi saat investor besar datang dengan modal triliunan, pintu izin terbuka lebar, lengkap dengan karpet merah. Bukankah ini wajah nyata negeri yang tajam ke bawah, tumpul ke atas?
Fakta itu makin terang dalam undangan audensi PPPS (Paguyuban Penambang Pasir Sungai) dengan BBWSO DIY pada Rabu (10/9/2025). Di surat resmi undangan, tercantum jelas bahwa kepala BBWSO akan hadir bersama pejabatnya. Namun, pada hari H, kepala dinas justru tidak datang karena ada tugas ke Jakarta. Audensi yang seharusnya menjadi ruang dialog akhirnya hanya diwakilkan oleh staf.
Permintaan maaf memang disampaikan, tapi kekecewaan para pengurus PPPS tidak bisa ditutupi.
“Kami sangat kecewa karena kita sudah diundang dan datang ke sini untuk beraudensi mencari titik temu tentang Rekomtek, dan di surat undangan jelas tertulis kepala dinas BBWSO akan hadir tapi nyatanya zonk,” tegas Agung, Ketua PPPS, sebelum acara ditutup.
Nada kekecewaan serupa datang dari Umar, salah satu pengurus sekaligus koordinator PPPS. Saat dihubungi Kamis (11/9/2025), Umar mengungkapkan, “Kami sudah jemu cuma di-ontang-antingkan yang gak ada kejelasan. Saat kita gelar aksi di kepatihan kita dijanjikan dalam satu bulan izin akan turun, tapi nyatanya sampai saat ini belum ada kejelasan. Bahkan audensi yang dijanjikan dengan kepala BBWS, ternyata beliau juga tidak hadir.”
Di sisi lain, perusahaan bermodal besar dengan mudah mendapat restu. Eksploitasi berskala industri justru diakomodasi, meski dampaknya terhadap lingkungan jauh lebih parah dibandingkan penambang rakyat. Inilah wajah ketimpangan yang menohok: wong cilik kian termarjinalkan, sementara mereka yang berduit diberi legalitas.
Padahal, bantaran Kali Progo bukan monopoli penguasa atau segelintir investor. Ia adalah ruang hidup rakyat, tempat tradisi dan nafkah melekat selama puluhan tahun.
Membunuh mata pencaharian penambang pasir rakyat sama saja dengan merenggut hak hidup keluarga-keluarga kecil yang hanya ingin makan dari keringatnya sendiri.
Kita tidak sedang bicara sekadar pasir, tapi tentang keadilan sosial. Tentang hak rakyat kecil untuk hidup layak di tanah kelahirannya sendiri. Jika negara abai, maka jeritan di tepian Progo akan terus menggema, menjadi tanda bahwa keadilan itu masih jauh dari kata nyata. (AR).