Jumat, 26 Sep 2025
Pojok Opini

Kematian Jurnalis Medan: Lonceng Kematian Kebebasan Pers?

Foto: Ilustrasi 

Oleh: Muhammad Arifin 

Harian Rakjat, Yogyakarta – Selasa (09/09/2025), Indonesia kembali berduka. Seorang jurnalis asal Medan, Nico Saragih (38), ditemukan tak bernyawa di kamar mandi kosnya di Jalan PWS, Kecamatan Medan Petisah, Jumat (5/9/2025). Informasi menyebutkan, Nico sempat ditemukan dalam kondisi kritis sekitar pukul 09.00 WIB dan dilarikan ke RS Advent Medan. Namun nyawanya tak tertolong. Dugaan pembunuhan pun menyeruak, menambah daftar panjang kekerasan terhadap insan pers di negeri ini.

Kasus ini bukan sekadar kriminal biasa. Ia menyimpan ironi: seorang jurnalis yang sehari-hari mengabarkan fakta untuk publik justru kehilangan nyawa di ruang paling pribadinya.

Angka yang Menyisakan Ketakutan

Kasus Nico hanyalah satu potret buram. Data dari berbagai lembaga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan:

• Sepanjang 2024, sedikitnya 73 jurnalis mengalami kekerasan, satu di antaranya tewas dibunuh di Karo, Sumatera Utara.

• Hingga Mei 2025, sudah ada 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat.

• Januari–Agustus 2025, AJI mendata 60 kasus berupa pemukulan, peretasan digital, teror, hingga kriminalisasi.

• Laporan Yayasan TIFA menyebut 167 jurnalis menjadi korban pada 2024, dengan aktor kekerasan dominan berasal dari ormas (23%), buzzer (17%), dan polisi (13%).

Ironisnya, Sumatera Utara—tempat Nico meregang nyawa—selama tiga tahun terakhir termasuk wilayah dengan jumlah kasus tertinggi di Indonesia.

Hukum Ada, Tapi Tidak Tegak

Indonesia sebenarnya memiliki payung hukum: UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 ayat 1 menegaskan, siapa pun yang menghalangi tugas jurnalistik bisa dipidana 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta. Namun di lapangan, aturan ini seolah tak berarti.

Banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis diselesaikan dengan cara “damai”, cukup dengan permintaan maaf. Tidak ada keadilan yang ditegakkan, hanya impunitas yang dibiarkan hidup. Inilah yang membuat kekerasan berulang, karena pelaku merasa dilindungi oleh kelemahan hukum.

Mekanisme Perlindungan: Janji atau Harapan?

Pada Juni 2025, Dewan Pers bersama sejumlah lembaga meluncurkan Mekanisme Nasional Keselamatan Pers, sebuah skema perlindungan preventif dan responsif. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah mekanisme ini mampu menjangkau jurnalis di daerah, yang bekerja sendiri dengan minim perlindungan? Atau hanya akan berhenti di atas kertas, tanpa daya mencegah tragedi berikutnya?

Demokrasi yang Terancam

Kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar persoalan profesi. Ia adalah ancaman langsung terhadap demokrasi dan hak publik atas informasi. Setiap kali seorang jurnalis diintimidasi, dipukul, atau dibunuh, publik sesungguhnya sedang dirampas haknya untuk tahu.

Ketika suara wartawan dibungkam dengan kekerasan, yang sebenarnya sedang dibungkam adalah suara masyarakat.

Saatnya Tegas: Nol Toleransi Kekerasan

Kematian Nico Saragih harus menjadi alarm keras. Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil tidak boleh lagi memandang kekerasan terhadap jurnalis sebagai “insiden biasa”. Ada beberapa langkah mendesak yang perlu ditempuh:

1. Terapkan zero-tolerance: tak ada lagi ruang bagi kompromi atau damai dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis.

2. Reformasi penegakan hukum: setiap kasus harus diproses secara transparan, dengan pengawasan independen.

3. Perlindungan khusus bagi jurnalis daerah: akses darurat, bantuan hukum, hingga jaringan solidaritas yang kuat.

4. Evaluasi berkala terhadap Mekanisme Nasional Keselamatan Pers, agar tak berhenti pada seremoni peluncuran.

5. Publik ikut bersuara: karena kebebasan pers bukan milik wartawan semata, melainkan milik kita semua.

Tragedi Medan adalah cermin retak wajah pers Indonesia. Dari ruang kost yang sunyi, kita kembali diingatkan bahwa menjadi jurnalis di negeri ini masih berarti hidup dengan risiko.

Apabila kita membiarkan kekerasan ini terus berulang tanpa penyelesaian, jangan salahkan jika suatu hari demokrasi kita runtuh dalam hening. Sebab, suara wartawan yang dibungkam adalah suara rakyat yang ikut dipadamkan.

Tags:Berita Jogjaberita viralIndependensi JurnalisLonceng Kematian kebebasan persPers IndonesiaStop kekerasan terhadap jurnalis


Baca Juga