Foto: Ilustrasi , Senin (18/08/2025).
Oleh: Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Yogyakarta – Kemerdekaan Indonesia, yang seharusnya menjadi pesta kebahagiaan rakyat, kini berubah menjadi panggung kemewahan para elit penguasa. Di dalam pagar istana, para pejabat larut dalam euforia: tertawa, berjoget, dan berpose di atas panggung mewah. Mereka menikmati gaji jumbo, tunjangan tahunan, serta fasilitas tak terbatas yang terus mengalir dari uang negara. Ironisnya, semua kemewahan itu bersumber dari keringat rakyat.
Sementara di luar pagar, rakyat hanya menjadi penonton. Dengan wajah letih, dengan piring berisi nasi dan lauk seadanya, mereka menanggung beban pajak yang tiap tahun dinaikkan. Rakyat diminta berkorban, sementara penguasa berpesta. Inikah arti “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”? Atau justru “keadilan” hanya berlaku untuk segelintir yang duduk di kursi empuk kekuasaan?
Lebih tragis lagi, oknum pejabat korup ikut larut dalam gegap gempita perayaan. Mereka berjoget di atas luka rakyat, menari di atas penderitaan petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil yang terus dicekik regulasi. Pajak rakyat diperas, tetapi yang kenyang justru perut-perut busuk yang membengkak oleh korupsi.
Jika begini wajah kemerdekaan, bukankah kemerdekaan itu sendiri sudah dikorupsi? Selama rakyat masih dipaksa menanggung beban demi pesta-pesta kekuasaan, selama pejabat terus mengibarkan bendera kepalsuan di atas istana megahnya, maka kemerdekaan hanya tinggal slogan kosong tanpa ruh.
Rakyat harus sadar: kedaulatan bukan milik pejabat, bukan milik partai, bukan milik oligarki. Kedaulatan adalah milik rakyat. Dan sekali rakyat bergerak, tak ada pagar istana, tak ada panggung kemewahan, tak ada tirai sandiwara yang mampu menahannya.
Kemerdekaan sejati hanya akan lahir bila rakyat berani merebut kembali panggung itu dari tangan penguasa korup, untuk dikembalikan kepada pemilik yang sah: rakyat Indonesia.
(AR)