Foto: ilustrasi, Klaten (18/08/2025)
Oleh: Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Klaten – Klaten adalah tanah yang kaya budaya, tradisi, dan sejarah panjang. Dari sendang yang dijaga warga, hingga seni rakyat seperti ketoprak dan jathilan, semua itu adalah identitas luhur. Namun, di balik panggung budaya, ada kenyataan getir: politik dinasti, janji kosong, dan praktik kekuasaan yang justru menindas rakyatnya sendiri.
Dinasti politik di Klaten seakan sulit dilenyapkan. Nama yang sama terus menghiasi baliho, seolah kepemimpinan hanyalah warisan keluarga. Sementara itu, rakyat yang mestinya menjadi pemilik kedaulatan justru dijadikan “mesin suara” yang dibarter dengan janji dan bantuan yang tak pernah sampai. Budaya dijadikan hiasan kampanye, sementara pembangunan nyata tersendat.
Lebih parah lagi, praktik penyaluran bantuan desa kerap hanya menjadi alat politik. Bantuan tidak jarang disalurkan tidak tepat sasaran, bahkan dipakai sebagai senjata untuk mengontrol masyarakat. Kepala desa atau lurah seenaknya berkata: “Jika tidak nurut, bantuan akan dihentikan.” Rakyat dipaksa tunduk, diperlakukan seperti bawahan, bukan warga negara yang punya hak. Apakah ini yang disebut budaya Klaten? Atau justru feodalisme gaya baru yang merampas martabat rakyat?
Kini, dengan terpilihnya Hamenang Wajar Ismoyo dan Benny Indra Ardiyanto, rakyat menggantungkan harapan agar Klaten tidak lagi menjadi arena feodalisme politik. Jangan lagi ada praktik tebang pilih dengan alasan kantong suara. Aspirasi rakyat bukan untuk dipilah berdasarkan seberapa besar suara yang mereka sumbangkan, melainkan harus didengar secara adil. Jangan ada lagi lurah atau kepala desa yang memperlakukan dana desa seolah warisan keluarga.
Yang perlu diingat: kekuasaan tertinggi bukan di kantor bupati, bukan di balai desa, tetapi di tangan rakyat. Jika pemimpin masih bermental penguasa, menekan rakyat dengan bantuan, mempermainkan kebijakan demi suara, maka demokrasi Klaten hanyalah sandiwara murahan. Pemerintah seharusnya melayani rakyat dengan rendah hati, bukan menguasainya dengan kesombongan.
Klaten harus berani memutus rantai dinasti dan praktik kotor yang membudaya. Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat Klaten sebagai tanah yang kaya budaya, tetapi miskin keadilan. Dan rakyat hanya akan terus menjadi penonton dalam panggung politik yang penuh tipu daya.
(AR)