Kamis, 25 Sep 2025
Pojok Opini

Kudatuli: Jejak Luka dalam Langkah Kekuasaan

Foto: Ilustrasi (AR)

Oleh Muhammad Arifin

Harian Rakjat, Yogyakarta – Tanggal 27 Juli 1996 adalah tanggal yang tak boleh hilang dari ingatan kolektif bangsa. Hari itu, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta, diserbu oleh kelompok yang hendak menggulingkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Aparat diam, rakyat dilukai, dan sejarah mencatatnya sebagai Peristiwa Kudatuli, Kerusuhan Dua Tujuh Juli.

Bukan hanya kantor yang porak-poranda. Harapan rakyat kecil, idealisme demokrasi, dan keberanian bersuara ikut dirampas. Kudatuli adalah luka sejarah, dan luka itu tak pernah benar-benar sembuh.

Namun, seiring waktu, luka bisa memudar dalam narasi politik kekuasaan. Dan yang menyakitkan: justru dari rahim perjuangan itulah lahir pemimpin yang kini berjalan di jalur berbeda. Namanya: Joko Widodo.

Lahir dari Perlawanan, Menjauh dari Amanat

Jokowi adalah simbol rakyat. Ia bukan keturunan elite politik, bukan bagian dari kroni Orde Baru. Ia anak Solo yang didaulat menjadi harapan baru bangsa. Saat PDIP mengusungnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, lalu Presiden RI, tak sedikit yang percaya bahwa darah perjuangan masih mengalir dalam tubuh partai dan pemimpinnya.

Tapi sejarah kadang menciptakan ironi. Dalam dua periode kekuasaannya, Jokowi tak hanya menjauh dari PDIP—ia membentuk orbit kekuasaan sendiri. Dinasti politik perlahan dibangun. Anaknya, menantunya, dan lingkaran terdekatnya masuk ke gelanggang politik melalui jalan yang dulu ditentangnya.

Ketika Luka Tak Lagi Jadi Pedoman

Peristiwa Kudatuli seharusnya menjadi pedoman: bahwa kekuasaan tanpa etika akan melukai rakyat. Tapi dalam politik modern, ingatan seringkali dikaburkan. Megawati yang dulu berdiri melawan, kini menyaksikan Jokowi melenggang tanpa pertanggungjawaban moral kepada partai yang membesarkannya. Bahkan lebih dari itu, Jokowi justru memfasilitasi lahirnya kekuatan politik tandingan melalui putranya—yang menjabat wakil presiden mendampingi koalisi yang tidak diusung PDIP.

Rakyat kecil hanya bisa mengamati: bagaimana idealisme dikalahkan oleh kalkulasi, bagaimana amanat dikalahkan oleh ambisi, dan bagaimana luka lama dianggap usang dalam narasi kemenangan.

Sejarah Tak Pernah Tidur

Kudatuli bukan sekadar insiden. Ia adalah saksi bahwa demokrasi dibangun dengan nyawa, air mata, dan keberanian. Maka ketika Jokowi memilih untuk berpaling dari ingatan itu, baik kepada partai maupun kepada rakyat, ia bukan hanya menjauh dari PDIP. Ia menjauh dari akar sejarahnya sendiri.

Sejarah tak pernah tidur. Ia mencatat langkah-langkah kekuasaan, mencatat siapa yang setia dan siapa yang berkhianat. Di antara abu kantor PDI yang terbakar dan wajah rakyat yang luka, sejarah menanti: apakah luka Kudatuli akan dijadikan pelajaran, atau hanya sekadar halaman yang dilupakan?

(AR)

Tags:Jejak luka dalam langkah kekuasaanKlaten bersinarKudatuliTragedi 27Juli 1996

107|Share :

Baca Juga