Foto: Ilustrasi
Seni Jalanan Bukan Sekadar Coretan
Harian Rakjat, Yogyakarta – Kamis (04/09/2025), Mural adalah medium ekspresi rakyat yang murah, jujur, dan lantang. Ia hadir di jalanan untuk menyuarakan keresahan yang sering tak terakomodasi di ruang-ruang formal. Namun, dua mural di Jembatan Kleringan dan Jalan Brigjen Katamso, bertuliskan “RESET MENGGILA(S)”, “Awas Intel”, dan “Reset Sistem”, dihapus begitu saja. Apakah mural sungguh dianggap ancaman bagi negara?
Intimidasi yang Menyempitkan Ruang Ekspresi
Seperti yang dikutip dari Kompas.com, Tinky Twenty bersama 25 seniman lain bercerita bahwa mereka didatangi sekelompok orang saat menggambar mural. Kelompok itu meminta agar karya kritis dihapus dan diganti dengan mural yang “lebih indah”. Malam berikutnya, mural mereka benar-benar hilang. Ini bukan sekadar cat yang dihapus, tapi gagasan yang dibungkam.
Jogja dan Paradoks Kebebasan
Ironisnya, semua ini terjadi di Yogyakarta, kota yang selama ini dielu-elukan sebagai pusat budaya, kreativitas, dan toleransi. Bagaimana bisa ruang seni yang mestinya terbuka justru menjadi ajang pembungkaman? Paradoks ini menampar wajah Jogja, sekaligus menelanjangi kemunafikan demokrasi kita.
Ketakutan Negara pada Kritik
Konstitusi jelas menjamin kebebasan berekspresi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya: kritik dibungkam, seniman diintimidasi, karya dihapus. Negara seakan lebih nyaman dengan pujian palsu ketimbang kritik yang jujur. Pertanyaannya: apakah mural lebih berbahaya daripada korupsi, oligarki, atau ketidakadilan sosial?
Demokrasi yang Sakit
Mural bisa saja dihapus, tetapi pesan yang dikandungnya tidak akan hilang. Setiap penghapusan justru menguatkan kenyataan bahwa kritik rakyat memang ditakuti. Jika mural dianggap ancaman, maka sejatinya demokrasi kita sedang sakit. Demokrasi sejati hanya tumbuh bila rakyat bebas bersuara, termasuk melalui mural di jalanan.
(AR)