Foto: Ilustrasi
Oleh: Muhammad Arifin
Harian Rakjat, Yogyakarta – Sabtu (30/08/2025), Ibu Pertiwi menangis. Jerit rakyat di jalanan kini bukan lagi sekadar keluh kesah, melainkan teriakan putus asa. Dari Jakarta, Jogja, Makassar, Medan, hingga Surabaya—aksi demonstrasi menggema hampir di seluruh negeri. Jalan-jalan mendidih, penuh massa yang menuntut keadilan. Spanduk, poster, dan pekik orasi bersahut-sahutan, menuding langsung ke arah mereka yang selama ini bersembunyi di balik gedung megah bernama Senayan.
Kemarin hingga tadi malam, ribuan mahasiswa, buruh, pelajar, bahkan emak-emak turun ke jalan. Di Jakarta, Gedung DPR kembali jadi lautan manusia. Teriakan “Tolak kebijakan busuk!” bersatu dengan nyanyian perlawanan. Di Jogja, massa menutup simpang Tugu, membuat denyut kota seakan berhenti. Di Makassar, bentrokan pecah; batu dan gas air mata beterbangan. Sementara di Medan dan Surabaya, konvoi mahasiswa berjam-jam menutup jalan protokol.
Mirisnya, bentrokan nyaris tak bisa dihindari. Gas air mata menyesakkan napas rakyat, peluru karet beterbangan, sirene meraung tanpa henti. Tubuh-tubuh roboh, darah menetes di aspal. Baik rakyat maupun aparat kepolisian jadi korban. Negeri ini seperti berada di ambang ledakan besar.
Dan di tengah gejolak itu, rakyat makin murka karena ironi yang disuguhkan wakilnya sendiri. Saat pemerintah berteriak soal efisiensi anggaran, ketika subsidi untuk rakyat kecil terus dipangkas, justru tunjangan dewan dinaikkan. Sebuah tamparan telak yang membuat hati rakyat terbakar. Bagaimana mungkin mereka tega menambah kenyamanan hidup, sementara rakyat harus berhemat demi bertahan? Tak heran jika emosi rakyat memuncak, gelombang kemarahan di jalanan pun tak terbendung.
Luka itu makin dalam ketika ucapan anggota dewan menampar martabat rakyat. Ahmad Syahroni dengan pongahnya menyebut rakyat tolol. Kata-kata yang mencederai kepercayaan, menghancurkan wibawa, sekaligus menunjukkan betapa jauh jarak antara kursi empuk Senayan dengan derita rakyat di jalanan. “Ahmad Syahroni Ki Cen bangsat!” tegas seorang pengamen jalanan di pasar Prambanan (29/08) dengan nada emosi. Kata-kata kasar itu lahir dari rasa sakit—jeritan spontan rakyat kecil yang muak dan kecewa.
Ibu Pertiwi benar-benar terkoyak. Bukan hanya oleh kebijakan yang timpang, melainkan juga oleh sikap wakil rakyat yang kehilangan nurani. Mereka seolah bersepakat membisu, sementara rakyat di jalanan berdarah-darah. Sungguh ironi, ketika aparat dan mahasiswa sama-sama jadi korban, tetapi DPR hanya diam, pura-pura tak tahu, seolah negeri ini baik-baik saja.
Tak heran jika seruan-seruan lantang kini menggema: “Bubarkan DPR!”. Sebab, untuk apa ada wakil rakyat bila yang mereka lakukan hanyalah menutup mata, menutup telinga, dan menutup hati? Sejarah telah berulang kali membuktikan—ketika rakyat sudah jengah, tak ada benteng kekuasaan yang mampu menahan gelombang kemarahan.
Ibu Pertiwi tak butuh dewan yang bisu. Ibu Pertiwi butuh pemimpin yang mau mendengar. Jika tidak, tangisan hari ini hanya akan menjadi prolog dari amarah besar yang siap menenggelamkan mereka semua.
Namun, di tengah gelombang kemarahan ini, rakyat perlu tetap menjaga akal sehat. Suara perlawanan akan lebih bermakna bila disuarakan dengan damai, tegas, namun tanpa merusak diri sendiri. Jangan biarkan provokasi memecah belah barisan. Sejarah selalu berpihak pada mereka yang berjuang dengan ketulusan, bukan dengan kebencian. Solidaritas, persatuan, dan kesabaran adalah kunci agar perjuangan tidak sekadar jadi letupan sesaat, melainkan jalan panjang menuju perubahan yang sejati. (AR).