Sabtu, 21 Jun 2025
Pojok Opini

Sultan Tak di Gubris, BUMN Lebih Berkuasa di Tanah Istimewa, Apakah Prosedur Kini Lebih Sakral Daripada Kebijakan Lokal?

Disampaikan oleh: Antonius Fokki Ardiyanto, Warga Yogyakarta.

Yogyakarta, 19 Juni 2025 — Di tengah gegap-gempita pembangunan, proyek beautifikasi Stasiun Lempuyangan justru memperlihatkan wajah lain dari modernisasi: wajah yang mengabaikan warga dan menutup telinga dari suara pemimpinnya sendiri.

Warga RW 01 Kelurahan Bausasran menghadapi ancaman penggusuran setelah menerima SP 1 hingga SP 3 dari PT KAI Daop 6 Yogyakarta, tanpa adanya proses penghitungan ulang kompensasi sebagaimana diminta langsung oleh Gubernur DIY/Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Pada 26 Mei 2025, Sultan dengan tegas meminta agar seluruh bagian rumah warga, termasuk dapur, kamar mandi, dan bangunan tambahan diperhitungkan secara manusiawi. Beliau juga menekankan bahwa “bebungah” dari Kraton senilai Rp750 juta hanyalah bentuk empati moral, bukan kompensasi utama. Namun hingga hari ini, suara itu tak pernah ditanggapi.

Sebaliknya, PT KAI tetap berjalan dengan satu mantra: “sudah sesuai prosedur.”

Adapun nilai kompensasi yang ditawarkan:

Rp250 ribu/m² untuk bangunan permanen

Rp200 ribu/m² untuk bangunan semi permanen

Tambahan Rp10 juta untuk rumah singgah

Rp2,5 juta untuk ongkos bongkar

Tawaran yang bahkan tak sebanding dengan harga bangunan aktual di Yogyakarta yang mencapai Rp2–3 juta/m². Artinya, warga diminta hengkang dari ruang hidupnya dengan nilai yang tidak masuk akal dan tanpa dialog.

Warga telah menyampaikan keberatan lewat DPRD DIY, forum audiensi, hingga perantara GKR Mangkubumi. Tapi tak satu pun menghasilkan itikad baik untuk meninjau ulang pendekatan ini. Yang berjalan hanyalah alat ukur dan prosedur bukan hati nurani dan kehendak baik mensejahterakan tapi gerakan memiskinkan rakyat. 

Proyek beautifikasi ini dirancang membawa nuansa kolonial-meets-modern: revitalisasi bangunan Belanda, restoran, hotel, hingga plaza publik. Tapi di balik janji keindahan itu, proses sosialnya justru timpang, dan karakter penjajah VOC yang menindas rakyat telah mewarnai relasi ini. 

Dan ironinya: ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X—pemimpin daerah istimewa ini meminta peninjauan ulang, BUMN seperti PT KAI tetap melaju tanpa mengindahkan suara tersebut.

Kini publik patut bertanya:

Apakah Badan Usaha Milik Negara lebih berkuasa daripada Sultan di Tanah Istimewa? Apakah “prosedur” kini lebih sakral daripada kebijaksanaan lokal?

Hari ini 4 warga dari 5 warga yang masih bertahan setelah 8 warga yang menyerah duluan juga dengan terpaksa menandatangani pernyataan walaupun pasti berbeda narasinya dengan yang 8.

Masih tinggal 1 warga yang masih bertahan dan kami bersama kawan kawan LBH Yogyakarta akan tetap membersamai. Panjang Umur Perjuangan!!! 

Antonius Fokki Ardiyanto, Warga Yogyakarta Bersama Warga Lempuyangan

Tags:BUMNDIYJogja IstimewaLempuyanganProsedur lebih sakralSri Sultan HB X

118|Share :

Baca Juga