Foto: Ilustrasi (AR/HarianRakjat).
Ketika keadilan hanya berpihak kepada mereka yang berkuasa
oleh [Muhammad Arifin]
Harian Rakjat, Yogyakarta – Senin (20/10/2025), Wong cilik, rakyat kecil, kian hari kian sering dibenturkan dengan aparat penegak hukum (APH) hanya untuk menuntut keadilan. Negeri ini seolah kehilangan etika dan moralitas. Kekuasaan dan jabatan kini menjadi taruhan, sementara rakyatnya sendiri dikorbankan tanpa arah penyelesaian yang jelas.
Instansi pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom, kini tampak semakin jauh dari makna itu sendiri. Banyak di antaranya justru tampil arogan di hadapan rakyatnya. Mereka dengan mudah menggunakan kekuatan, bahkan berlindung di balik institusi hukum setiap kali muncul persoalan dengan wong cilik.
Fenomena ini mencerminkan betapa jauhnya jarak antara rakyat dan penguasa, sebuah ironi di negeri yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Lantas, kepada siapa rakyat harus meminta perlindungan jika mereka yang seharusnya melindungi justru menjadi lawan?
Ketika rakyat menuntut keadilan, yang datang justru kesewenang-wenangan. Maka patut dipertanyakan, di mana letak etika dan moralitas para pejabat ketika keadilan tak lagi berpihak kepada rakyatnya sendiri?
Contoh nyata dapat dilihat dari perjuangan para penambang rakyat di bantaran Sungai Progo. Mereka hanya ingin bertahan hidup, memperjuangkan penghidupan ekonomi keluarga di tengah kebijakan yang kian menekan. Namun yang mereka hadapi bukan uluran tangan, melainkan barikade aparat dan aturan yang kaku.
Padahal yang mereka butuhkan hanyalah solusi yang manusiawi, bukan tindakan represif yang justru menambah luka sosial.
Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), yang semestinya hadir sebagai pengayom, justru tampak kehilangan empati. Rakyat kecil yang datang dengan niat baik dianggap pengganggu.
Sikap pimpinan instansi yang seharusnya memberi contoh bijak, justru terkesan arogan dan tertutup. Ia seakan alergi terhadap kritik, bahkan enggan berhadapan langsung dengan rakyat atau wartawan.
Pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik kekuasaan, melainkan berdiri di tengah rakyatnya. Ia mendengar, memahami, dan mencari jalan keluar yang adil. Karena sejatinya, jabatan hanyalah amanah, bukan benteng untuk menjauh dari suara rakyat.
Kini, suara wong cilik kembali menggema: mereka tidak menuntut kekuasaan, hanya keadilan yang manusiawi. Namun, apakah keadilan itu masih punya tempat di negeri yang kian dikuasai oleh kepentingan dan bekingan?
Selama kekuasaan lebih diutamakan daripada kemanusiaan, selama hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka etika dan moralitas bangsa ini akan terus terkikis.
Dan pada saat itu, yang tersisa hanyalah rakyat kecil yang berjuang sendirian, di negeri yang konon milik mereka sendiri.
Di bawah langit negeri ini, suara wong cilik mungkin lirih, namun tak akan padam. Mereka tidak butuh belas kasihan, hanya keadilan yang jujur. Sebab dalam doa mereka, tersimpan harapan yang lebih tulus daripada janji-janji kekuasaan.
Jika para penguasa masih punya hati, dengarlah suara itu, sebelum diam mereka berubah menjadi perlawanan yang tak lagi bisa dibungkam.
(AR/HarianRakjat)